Kiai Haji Ibrahim bin Fadlil (1874–1932) adalah seorang ulama terkemuka dan Ketua Umum Muhammadiyah kedua setelah K.H. Ahmad Dahlan. Lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 7 Mei 1874, beliau merupakan putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Kesultanan Yogyakarta pada masa Sultan Hamengkubuwono VII. Sejak muda, K.H. Ibrahim menimba ilmu agama, termasuk belajar di Mekkah selama 7–8 tahun. Sepulangnya ke Indonesia, beliau menjadi pengajar yang dihormati, menguasai qira’at Al-Qur'an, bahasa Arab, serta memiliki pemahaman mendalam tentang fikih dan tauhid. Pada 1923, setelah wafatnya K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Ibrahim diangkat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang signifikan, memperluas jangkauan dakwah dan pendidikan di seluruh Indonesia. Beliau memperkenalkan "Fonds Dachlan," sebuah inisiatif yang menyediakan beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, dan memelopori kegiatan sosial seperti khitanan massal serta pengajian untuk masyarakat umum.
Dalam bidang pendidikan, K.H. Ibrahim dikenal dengan metode sorogan dan weton, yang menggabungkan kajian mendalam dengan pembelajaran kolektif. Beliau juga memimpin pengajian kaum ibu yang dikenal dengan nama pengajian Adzdzakirat, yang banyak memberikan jasa kepada masyarakat.
Karya-Karya
Pengadjian Rakjat
Kitab Nukilan Sju'abul-Iman (dalam bahasa Jawa)
Kitab Nikah (dalam huruf Pegon dan bahasa Jawa)
Sumber :